online bersama membagi pengetahuan ilmu komputer dan teknologi

Bencana Alam dan Kewaspadaan Kita


tribunlampung.co.id
warga korban air bah
Jumat, 8 Oktober 2010 | 08:29 WIB
BENCANA kembali mengentak Bumi Ruwa Jurai. Kali ini, giliran lima desa di Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran. Rabu (6/10) malam, banjir bandang menyapu seratusan rumah yang berada di jalur aliran sungai Way Punduh.

Meski tidak memakan korban jiwa, kerusakan fisik akibat banjir terbilang parah.
Selain rumah, sejumlah jembatan dan gronjong juga hancur, hanyut tersapu air bah.  Ini bencana alam kedua yang terjadi kurang dari sepekan di Lampung. Sebelumnya, Minggu (3/10), gelombang besar setinggi tiga meter menerjang perkampungan di Desa Muara Gading Mas, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Gelombang yang bagai tsunami kecil itu memorak-morandakan ratusan rumah warga di tujuh dusun.

Banjir bandang di Punduh Pedada dan ombak besar di Labuhan Maringgai, mestinya menjadi alarm bagi kita semua: ancaman bencana sangat dekat di pelupuk mata, dan dapat terjadi kapan saja-kerapkali tanpa kita mampu menduga sebelumnya.

Bukankah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengingatkan, cuaca buruk masih akan melanda hingga Februari 2011. Fenomena perubahaan iklim La Nina yang menyebabkan cuaca basah bakal terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia.

Efek La Nina berpengaruh besar pada daerah pegunungan karena membantu pembentukan air. Wilayah Sumatera, termasuk Lampung merupakan daerah paling awal terkena dampak La Nina yang muncul dalam sosok angin puting beliung, gelombang tinggi, curah hujan tinggi, banjir, dan longsor. Jelas sebenarnya, bencana sudah mengintai bagai serigala yang tengah bersiap memburu mangsanya.

Dalam sistuasi ini, kewaspadaan dan kesiapsiagaan sangat penting ditingkatkan. Sikap ini harus dimiliki masyarakat, juga pemerintah. Pemanasan global yang diikuti perubahan iklim, membuat kini nyaris tak ada wilayah yang dijamin aman dari sasaran kemarahan alam.

Karena bencana semakin sulit diprediksi, yang bisa dan harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri jika bencana datang. Di banyak peristiwa, ketidaksiapan masyarakat, serta pemerintah lah yang justru memperburuk dampak akibat bencana.

Masyarakat harus tahu, dan perlu diberitahu, jika bencana datang (dalam segala bentuknya), apa yang harus dilakukan, bagaimana mengurangi dampak akibat bencana, kemana harus pergi untuk menyelamatkan diri, dan sebagainya.

Tanggung jawab utama atas upaya untuk memberi penerangan kepada khalayak luas tentang berbagai hal itu ada di pundak pemerintah. Sosialisasi dan kampanye lewat berbagai medium harus dilakukan secara simultan dan segera ke berbagai lini dan lapisan masyarakat.

Pemerintah juga harus lebih banyak membuat jalur-jalur penyelamatan jika bencana datang, berikut segala rambunya. Sering terjadi, saat bencana datang, masyarakat lari lintang pukang tak tentu arah untuk menyelamatkan diri. Tak sedikit yang kemudian berlari ke arah yang salah, sehingga justru memperbanyak jatuhnya korban.

Kesiapan pemerintah, terutama dari aspek mental, juga harus diperkuat. Bukan rahasia umum, jika bencana datang, pihak pemerintah (terutama individu-individunya yang tak jarang juga menjadi korban), ikut-ikutan gupek. Akibatnya, alih-alih menolong orang lain, ia pun juga nampak seperti orang yang harus ditolong.

Bukannya tak pernah pemerintah dan berbagai unsur melakukan simulasi bencana yang situasinya dibuat sama seperti aslinya. Namun, sekali lagi, jika bencana benar-benar datang, semua pengetahuan, semua hasil simulasi bagai lenyap tak berbekas.

Lihat saja, dalam masa tanggap darurat, selalu dengan mudah ditemukan wajah-wajah kebingungan staf Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)-lembaga yang jelas-jelas dibentuk untuk tampil paling muka menghadapai bencana.

Koordinasi dan komunikasi antarlembaga, seperti SAR (search and resque) maupun PMI (Palang Merah Indonesia) pun harus terus dibangun dan dibina. Tanpa koordinasi dan komunikasi yang baik, kerja-kerja mitigasi dan penanganan bencana akan menjadi tidak efektif, jauh dari optimal.

Soal anggaran minim yang selama ini dikeluhkan, mestinya tidak menjadi dalih bagi BPBD untuk selalu terlambat, dan bekerja ala kadarnya setiap bencana datang, terutama pada masa tanggap darurat. Banyak sumber daya yang bisa dimanfaatkan, asalkan ada kreativitas dan kesungguhan. Selebihnya, tinggal kita imbau pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan perhatian lebih terhadap hal-hal terkait kebencanaan, termasuk penyediaan anggaran yang memadai.(*)


@



Bencana Alam dan Kewaspadaan Kita